Kaidah 5
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Al-‘Adah Muhakkamah
(Adat/’Urf Sebagai Penentu Hukum)
Adat atau yang disebut juga ‘urf adalah suatu perkara yang dilakukan oleh satu masyarakat secara berulang-ulang sehingga menjadi suatu tradisi. Karena اَلعَادَةُ diambil dari اَلْعَوْدُ yaitu sesuatu yang kembali.
Dalil-Dalil Kaidah
Dalil-dalil yang menetapkan adanya kaidah ini diantaranya adalah firman Allah,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS Al-Baqarah : 233)
Syariat tidak menetapkan berapa ukuran “ma’ruf” yang dituntut dalam ayat ini, sehingga dikembalikan kepada ‘urf yang berlaku di masyarakat.
Allah juga berfirman,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.” (QS Al-Maidah : 89)
Makanan yang dimaksudkan disini tidak ditetapkan oleh syariat secara tepat, akan tetapi dikembalikan kepada jenis makanan yang biasa dia makan di masyarakatnya.
Allah juga berfirman,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS Ath-Thalaq : 7)
Dalam masalah menafkahi istri dan anak-anak, maka ukuran seberapa banyak dia harus memberikan nafkah adalah disesuaikan dengan ‘urf negeri atau daerah masing-masing.
Dalam sebuah hadits, dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah ﷺ, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi ﷺ bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR Bukhari, no. 5364 dan Muslim, no. 1714)
Jika ada seorang suami yang memberikan nafkah kepada keluarganya tetapi dalam kadar yang tidak mencukupinya, maka istrinya diperbolehkan mengambil uang suaminya tanpa sepengetahuannya sesuai kadar yang dibutuhkan oleh dirinya dan anak-anaknya tanpa berlebihan. Dan jumlah kadar yang dibutuhkan sesuai ‘urf setempat.
Hal ini berlaku pula dalam masalah kewajiban suami dan istri, seperti kegiatan mencuci pakaian, memasak, merapikan rumah, maka semua ini kembali kepada ‘urf masyarakat setempat. Setiap negeri bisa berbeda-beda sesuai dengan ‘urf yang berjalan di negeri tersebut. Dengan catatan ‘urf yang dimaksudkan disini adalah perkara yang dilakukan oleh banyak orang atau masyarakat secara umum, bukan ‘urf pribadi.
Lingkup Pembahasan Kaidah
Pembahasan kaidah Al-‘Adah Muhakkamah terfokus pada dua keadaan:
- Apabila lafadz-lafadz yang ada di dalam nash-nash tidak ditegaskan batasannya oleh syariat. Seperti beberapa dalil yang telah lewat, contoh dalam masalah kadar nafkah, kadar muamalah yang baik antara suami istri, berbakti kepada orang tua, batasan safar, dll. Berbeda dengan lafadz-lafadz yang ditegaskan seperti shalat, adzan, batasan jilbab dll, semua ini tidak boleh dikembalikan kepada ‘urf karena telah jelas batasannya di dalam syariat.
- Berlaku pada hal-hal yang merupakan muamalah diantara manusia.
Syarat ‘Adah/’Urf Menjadi Pemutus Hukum
1. Tidak bertentangan dengan syariat
‘Urf bisa menjadi pemutus hukum dengan syarat ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Seperti tradisi orang-orang bule jika berekreasi di pantai yang memakai pakaiannya minimalis. Maka tradisi ini tidak bisa menjadi dalil karena membuka aurat terlarang dalam syariat walaupun diklaim sebagai ‘urf satu masyarakat. Contoh lainnya seperti tradisi kesyirikan yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat, atau tradisi sebagian kalangan di tanah air yang menasabkan anak kepada ibunya bukan kepada bapaknya.
2. Dominan di masyarakat
‘Urf tersebut dominan dipraktekkan di masyarakat. Seperti ‘urf yang berjalan secara dominan di Arab Saudi, pintu masuk ke rumah antara laki-laki dan perempuan dibedakan.
3. Merupakan ‘urf yang sekarang
‘Urf tersebut adalah ‘urf yang berlaku sekarang bukan ‘urf zaman dahulu. Seperti seorang lelaki yang hendak menikah, hendaknya mahar yang diberikan kepada istrinya disesuaikan dengan ‘urf yang berlaku pada zaman sekarang, tidak membandingkan dengan mahar yang biasanya berlaku 50 tahun yang lalu.
4. Tidak ada kesepakatan antara dua pihak yang bertransaksi akan penyelisihan terhadap ‘urf
Telah berlalu penjelasan bahwa muamalah diantara manusia yang tidak ditegaskan batasannya oleh syariat maka dikembalikan kepada ‘urf. Namun apabila kedua belah pihak yang bertransaksi tersebut bersepakat untuk tidak menggunakan ‘urf maka saat itu ‘urf tidak bisa lagi dijadikan patokan atau pemutus hukum.
Sebagai contoh, seorang yang tinggal di Indonesia, apabila dia menyebutkan sebuah angka nominal uang maka yang dipahami secara ‘urf adalah mata uang rupiah, tidak dibawa ke mata uang yang lain. Misalnya jika dia ingin berhutang sebanyak 50.000, maka yang dipahami adalah 50.000 rupiah bukan 50.000 dollar, kecuali jika ditegaskan sebelumnya bahwa dia berhutang sebanyak 50.000 dollar.
Kaidah-Kaidah Turunan
Pertama,
اَلْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
(Yang telah menjadi ‘urf maka itu seperti syarat meski tidak terlafadzkan)
Sebagaimana ‘urf sebagian suku, lelaki ketika ingin menikah maka dia akan membayar uang tambahan untuk calon mertua selain membayar mahar untuk istri. Di dalam syariat tidak dikenal uang tambahan untuk calon mertua, tetapi karena hal tersebut sudah menjadi urf dan tidak bertentangan dengan syariat, maka seakan-akan itu telah menjadi syarat di dalam pernikahan. Sehingga sang suami hendaknya memenuhi hal tersebut.
Atau sebagaimana yang berlaku pula di sebagian daerah jika ingin mengadakan pernikahan dan walimah maka diadakan di rumah perempuan, maka hendaknya pihak lelaki tidak berusaha menuntut agar dipindahkan ke rumahnya.
Kedua,
اَلْكِتَابَةُ كَالْخِطَابُ
(Hukum tulisan sama seperti hukum pembicaraan)
Kebanyakan akad transaksi di zaman sekarang telah menggunakan tulisan. Maka hal tersebut diberlakukan seperti akad yang berlaku pada lisan.
Masalah : Bagaimana hukum seorang suami mentalak istrinya lewat pesan SMS?
Jawab : Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum tulisan dalam hal ini sama persis dengan hukum pembicaraan, jika lafadz teksnya sharih[1] (tegas) maka talak telah jatuh sebagaimana jika lafadz tersebut diucapkan secara lisan. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hukum tulisan dalam masalah ini tidak sama persis dengan hukum secara lisan, semua lafadz dalam bentuk tulisan adalah teranggap kinayah (tidak tegas) walaupun dari sisi tulisan seperti lafadz sharih.
Contoh-Contoh Lafadz Syar’i yang Tidak Memiliki Batasan Tegas Dalam Syariat
- Berapa kali kewajiban suami menggauli istri dalam sebulan.
- Banyak gerak yang tidak diperlukan dalam shalat membatalkan shalat. Namun para ulama berselisih pendapat berapa jumlah gerak yang dinyatakan batal. Dalam hal ini, dikembalikan kepada ‘urf.
- Jamak diantara dua shalat tidak boleh terpisah oleh waktu yang lama. Namun berapa lamanya kembali kepada ‘urf’
- Tentang waktu membaca dzikir pagi dan petang. Waktu pagi dan petang tidak ada penjelasannya secara tegas di dalam syariat. Oleh karena itu, dibawa kepada makna bahasa atau ‘urf. Dimana para ulama mengatakan bahwa waku pagi itu sejak setelah shubuh sampai sebelum dhuhur dan waktu petang itu setelah ashar sampai malam.
Khilaf Seputar Safar
A. Batasan Jarak Safar
Para ulama berselisih pendapat tentang batasan jarak safar. Secara umum ada dua kelompok dalam masalah ini, yaitu:
1. Ulama yang memandang bahwa syariat telah menentukan batasan jarak safar (pendapat jumhur ulama)
Dalilnya adalah sabda Nabi:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya).” (HR Bukhari no. 1088)
Mereka berpandangan ini adalah dalil bahwa jarak terpendek disebut safar adalah perjalanan sehari semalam. Dan jarak sehari semalam = 4 burudh = 16 farsakh (1 farsakh = 3 mil, 1 mil = 1,86km) = 80,6 km. Sehingga suatu perjalanan disebut safar jika telah mencapai 80,6km.
2. Ulama yang memandang bahwa syariat tidak menentukan batasan jarak safar (pendapat Dzhahiriyah, Ibnu Taimiyah, Syaikh As-Sa’di, Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin, dll)
Mereka berpandangan bahwa sabda Nabi tadi konteksnya Nabi sedang berbicara tentang ‘urf pada zaman itu. Sehingga konsekuensinya batasan jarak safar dikembalikan kepada ‘urf, kapan ‘urf menilai itu safar maka itu safar.
B: Batasan Berapa Lama Dianggap Safar
Setelah diketahui tentang jarak perjalanan disebut safar, maka permasalahan selanjutnya adalah berapa lama musafir tersebut dianggap masih safar sehingga boleh baginya menqashar shalat. Secara umum, keadaan musafir terbagi dalam 2 kondisi :
1. Si musafir di kota tersebut selalu berpindah-pindah (tidak menetap di satu tempat/rumah saja), keadaan seperti ini membolehkannya untuk selalu mengqashar shalatnya.
2. Si musafir di kota tersebut menetap hanya di satu tempat. Para ulama berselisih pendapat,
- Jumhur ulama berpendapat bahwa syariat telah memberi batasan dia masih disebut bersafar sehingga boleh baginya menqashar shalatnya.
1. Batasannya adalah 4 hari. Dalilnya adalah hadits tentang perjalanan haji Nabi, beliau berangkat haji dari Madinah tanggal 25 Dzulqa’dah sampai Makkah tanggal 4 Dzulhijjah, kemudian beliau bertolak ke Mina tanggal 8 Dzulhijjah. Dari tanggal 4-8 Dzulhijjah tersebut Nabi menginap di satu tempat dan tidak berpindah-pindah, selama itu beliau menqashar shalatnya.2. Batasannya adalah 19 hari. Dalilnya adalah dari sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata,أَقَامَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
“Nabi menetap selama 19 hari dengan mengqashar shalat. Dan kami jika menetap selama 19 hari kami mengqashar shalat, jika lebih dari itu kami menyempurnakan shalat.” (HR Bukhari no. 1080)
- Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa syariat tidak memberi batasan berapa lama masih disebut safar. Maka yang seperti ini dikembalikan kepada ‘urf. Sebagai contoh jamaah haji yang tinggal sebulan di Makkah sebelum masuk waktu haji, maka selama itu pula dia disebut musafir secara ‘urf.
Footnote:
[1] Sighah (lafadz) talak bisa berupa dua macam :
- Sharih (tegas), seperti “Aku mentalakmu”, “aku menceraikanmu”, dll. Lafadz-lafadz seperti ini langsung berkonsekuensi jatuh talak.
- Kinayah (tidak tegas), seperti “Pulang saja ke rumah orang tuamu!”, “Rumah ini sudah tidak cocok bagi kita berdua”. Lafadz-lafadz seperti mengandung kemungkinan-kemungkinan, jika niatnya cerai maka talak telah jatuh, jika bukan dengan niat cerai maka talak tidak jatuh.